Main » 2009 » March » 10 » KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN
KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN
6:48 AM
A.KEBUDAYAAN, KESEHATAN ORANG PAPUA
DALAM
PERSPEKTIF ANTROPOLOGI KESEHATAN
Orang
Papua berdasarkan kajian-kajian etnografi mempunyai keanekaragaman kebudayaan
yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Tidak hanya saja pada keanekaragaman
kebudayaan tetapi dalam semua unsure kebudayaan mempunyai keaneka ragaman yang
berbeda satu sama lainnya.
Keaneka
ragaman ini juga melukiskan adanya perbedaan terhadap pandangan serta
pengetahuan tentang kesehatan. Kalau dilihat kebudayaan sebagai pedoman dalam berperilaku
setiap individu dalam kehidupannya, tentu dalam kesehatan orang Papua
mempunyai seperangkat
pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kesehatan berdasarkan perspektif
masing-masing suku bangsa. Keaneka ragaman dalam kebudayaan baik dalam unsur
mata pencaharian, ekologikepercayaan/religi,
organisasi sosial, dan lainnya secara langsung memberikan pengaruh terhadap
kesehatan para warganya. Dengan demikian secara kongkrit orang Papua mempunyai
seperangkat pengetahuan berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing dalam menanggapi
masalah kesehatan.
Kajian etnografi ini akan
memberikan ilustrasi tentang bagaimana kebudayaan, kesehatan orang Papua
berdasarkan perspektif antropologi, yang dapat memberikan pemahaman kesehatan
secara kultural.
B.KEBUDAYAAN DAN PERILAKU SEBAGAI KONSEP DASAR
Kebudayaan
sebagai pedoman dalam kehidupan warga penyandangnya jauh lebih kompleks dari
sekedar menentukan pemikiran dasar, karena kenyataan kebudayaan itu sendiri
akan membuka suatu cakrawala kompetensi dan kinerja manusia sebagai makhluk
sosial yang fenomenal. Untuk itu dapatlah dikemukakan beberapa rumusan
kebudayaan:
“…dalam konteks suatu
aliran atau golongan teori kebudayaan yang besar
pengaruhnya dalam kajian
antropologi, atau yang dikenal dengan “Ideasionalisme”
(ideationalism)
(Keesing, 1981; Sathe, 1985) dalam kajian khususnya kesehatan.
Goodenough mengemukakan
bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif- suatu
sistem yang terdiri dari
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota
individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada
dalam “tatanan kenyataan
yang ideasional”. Atau kebudayaan merupakan
perlengkapan mental yang
oleh anggota-anggota masyarakat dipergunakan dalam
proses-proses orientasi,
transaksi, pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan
penafsiran perilaku
sosial nyata dalam masyarakat. Dengan demikian merupakan
pedoman bagi
anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial yang baik/pantas
dan sebagai penafsiran
bagi perilaku orang-orang lain. Hal yang sama pula
dikemukakan oleh Sathe
(1985:10) bahwa kebudayaan adalah gagasan-gagasan dan
asumsi-asumsi penting
yang dimiliki suatu masyarakat yang menentukan atau
mempengaruhi komunikasi,
pembenaran, dan perilaku anggota-anggotanya
(Kalangie,1994:1-2).
Pemahaman
kebudayaan seperti dalam konteks ideasionalisme bukan hanya mengacu pada
tipe-tipe masyarakat, suku bangsa, tetapi terilihat juga pada sistem-sistem
yang formal (organisasi formal dalam membicarakan pengaruh-pengaruh kebudayaan
birokratisme dan profesionalisme). Untuk dapat memahami rumusan kebudayaan,
tidaklah berpendapat bahwa seluruh kelompok masyarakat memiliki kesatuan
kebudayaan, tetapi masing-masing kelompok masyarakat menunjukkan adanya
perbedaan budaya secara nyata (Geertz, 1966).
Perilaku
terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Bila berbicara
tentang sistem budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang
kongkrit dan dapat dilihat , yang diwujudkan dalam sistem sosial di lingkungan
warganya. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti merupakan satu
kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat
berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan
sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan
sosial) berdasarkan kebudayaan mereka masing-masing.
Kebudayaan
mempunyai sifat yang tidak statis, berarti dapat berubah cepat atau lambat
karena adanya kontak-kontak kebudayaan atau adanya gagasan baru dari luar yang
dapat mempercepat proses perubahan. Hal ini berarti bahwa terjadi proses
interaksi antara pranata dasar dari kebudayaan penyandangnya dengan pranata
ilmu pengetahuan yang baru akan menghasilkan pengaruh baik langsung ataupun
tidak langsung yang mengakibatkan terjadinya perubahan gagasan budaya dan pola
perilaku dalam masyarakat secara menyeluruh atau tidak menyeluruh. Ini berarti bahwa,
persepsi warga masyarakat penyandang kebudayaan mereka masingmasing akan
menghasilkan suatu pandangan atau persepsi yang berbeda tentang suatu
pengertian yang sama dan tidak sama dalam konteks penyakit, sehat, sakit.
Dengan
demikian, nampaknya ada kelompok yang lebih menekankan pada terapi adikodrati (personalistik),
sedangkan lainnya pada naturalisti berdasarkan prinsip-prinsip keseimbangan
tubuh. Hal ini berarti masyarakat ada yang menekankan pada penjelasan
sehat-sakit berdasarkan pemahaman mereka secara emik pada konsep personalistik
maupun naturalistik. Jadi keaneka ragaman persepsi sehat dan sakit itu
ditentukan oleh pengetahuan, kepercayaan, nilai, norma kebudayaan masing-masing
masyarakat penyandang kebudayaannya masing-masing. Dapatlah dikatakan bahwa kebudayaanlah
yang menentukan apa yang menyebabkan orang menderita sebagai akibat dari
perilakunya.
Sehubungan
dengan hal di atas, maka kebudayaan sebagai konsep dasar, gagasan budaya dapat
menjelaskan makna hubungan timbal balik antara gejala-gejala sosial (sosiobudaya)
dari penyakit dengan gejala biologis (biobudaya) seperti apa yang
dikemukakan oleh Anderson/Foster. Berarti orang Papua sebagai suatu kelompok
masyarakat yang mempunyai seperangkat pengetahuan, nilai, gagasan, norma,
aturan sebagai konsep dasar dari kebudayaan, akan mewujudkan bentuk-bentuk
perilakunya dalam kehidupan sosial. Perilaku itu akan mewujudkan perbedaan persepsi
terhadap suatu konsep sehat, sakit, penyakit secara kongkrit berbeda dengan kelompok
etnik lainnya. Apalagi dengan adanya keaneka ragaman kebudayaan pada orang
Papua, tentu secara kongkrit akan mewujudkan adanya perbedaan persepsi dalam
menyatakan suatu gejala kesehatan.
C. KONSEP SEHAT DAN
SAKIT
C.1. KONSEP SEHAT
Konsep
“Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda, berdasarkan komunitas.
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa orang Papua terdiri dari keaneka ragaman
kebudayaan, maka secara kongkrit akan mewujudkan perbedaan pemahaman terhadap
konsep sehat yang dilihat secara emik dan etik. Sehat dilihat berdasarkan
pendekatan etik, sebagaimana yang yang dikemukakan oleh Linda Ewles &
Ina Simmet (1992) adalah sebagai beriku:
(1) Konsep sehat dilihat
dari segi jasmani yaitu dimensi sehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada
fungsi mekanistik tubuh;
(2) Konsep sehat dilihat
dari segi mental, yaitu kemampuan berpikir dengan jernih dan
koheren. Istilah mental
dibedakan dengan emosional dan sosial walaupun ada
hubungan yang dekat
diantara ketiganya;
(3) Konsep sehat dilihat
dari segi emosional yaitu kemampuan untuk mengenal emosi
seperti takut,
kenikmatan, kedukaan, dan kemarahan, dan untuk mengekspresikan
emosi-emosi secara
cepat;
(4) Konsep sehat dilihat
dari segi sosial berarti kemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan
dengan orang lain;
(5) Konsep sehat dilihat
dari aspek spiritual yaitu berkaitan dengan kepercayaan dan
praktek keagamaan,
berkaitan dengan perbuatan baik, secara pribadi, prinsip-prinsip
tingkah laku, dan cara
mencapai kedamaian dan merasa damai dalam kesendirian;
(6) Konsep sehat dilihat
dari segi societal, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada
tingkat individual yang
terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang melingkupi
individu tersebut. Adalah tidak mungkin menjadi sehat dalam
masyarakat yang “sakit”
yang tidak dapat menyediakan sumber-sumber untuk
pemenuhan kebutuhan
dasar dan emosional. (Djekky, 2001:8)
Konsep sehat tersebut bila
dikaji lebih mendalam dengan pendekatan etik
yang dikemukakan oleh Wold
Health Organization (WHO) maka itu berart
bahwa:
Sehat itu adalah “a
state of complete physical, mental, and social well being, and not
merely the absence of
disease or infirmity” (WHO,1981:38) Dalam dimensi ini jelas
terlihat bahwa sehat itu
tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga kondisi
mental dan sosial
seseorang. Rumusan yang relativistic mengenai konsep ini
dihubungkan dengan
kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat bahwa ide
kesehatan adalah sebagai
kemampuan fungsional dalam menjalankan peranan-peranan
sosial dalam kehidupan
sehari-hari (Wilson, 1970:12) dalam Kalangie (1994:38).
Namun demikian bila kita
kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan pendekatan secara emik bagi suatu
komunitas yang menyandang konsep kebudayaan mereka, ada pandangan yang berbeda
dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini karena adanya pengetahuan yang
berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara nyata akan terlihat bahwa seseorang
secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi masih dapat melakukan aktivitas
sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut dapat menyatakan dirinya sehat. Jadi
hal ini berarti bahwa seseorang berdasarkan kebudayaannya dapat menentukan
sehat secara berbeda seperti pada kenyataan pendapat di bawah ini sebagai
berikut:
Adalah kenyataan bahwa
seseorang dapat menentukan kondisi kesehatannya baik
(sehat) bilamana ia
tidak merasakan terjadinya suatu kelainan fisik maupun psikis.
Walaupun ia menyadari
akan adanya kelainan tetapi tidak terlalu menimbulkan
perasaan sakit, atau
tidak dipersepsikan sebagai kelainan yang memerlukan perhatian
medis secara khusus,
atau kelainan ini tidak dianggap sebagai suatu penyakit. Dasar
utama penetuan tersebut
adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan
sosialnya setiap hari
seperti biasa.
Standard apa yang dapat
dianggap “sehat” juga bervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia
dalam keadaan sehat pada hari ketika Broncitis Kronik
berkurang sehingga ia
dapat berbelanja di pasar. Ini berarti orang menilai
kesehatannya secara
subyektif, sesuai dengan norma dan harapan-harapannya. Inilah
salah satu harapan
mengapa upaya untuk mengukur kesehatan adalah sangat sulit.
Gagasan orang tentang
“sehat” dan merasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasangagasan
itu dibentuk oleh
pengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapanharapan.
(Kalangie, 1994:39-40)
C.2. KONSEP SAKIT
Sakit dapat
diinterpretasikan secara berbeda berdasarkan pengetahuan secara ilmiah dan
dapat dilihat berdasarkan pengetahuan secara budaya dari masing-masing
penyandang kebudayaannya. Hal ini berarti dapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara konseptual dapat disajikan bagaimana sakit
dilihat secara “etik” yang dikutib dari Djekky (2001: 15) sebagai berikut :
Secara ilmiah penyakit
(disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu
organisme sebagai akibat
terjadi infeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi penyakit itu
bersifat obyektif.
Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap
pengalaman menderita
suatu penyakit (Sarwono, 1993:31). Fenomena subyektif ini
ditandai dengan perasaan
tidak enak. Di negara maju kebanyakan orang mengidap
hypo-chondriacal, ini
disebabkan karena kesadaran kesehatan sangat tinggi dan takut
terkena penyakit
sehingga jika dirasakan sedikit saja kelainan pada tubuhnya, maka
akan langsung ke dokter,
padahal tidak terdapat gangguan fisik yang nyata. Keluhan
psikosomatis seperti ini
lebih banyak ditemukan di negara maju daripada kalangan
masyarakat tradisional.
Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang
sebagai sakit, jika
orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak
dapat lagi menjalankan
tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan
kekuatannya sehingga
harus tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).
Sedangkan secara “emik”
sakit dapat dilihat berdasarkan pemahaman konsep kebudayaan masyarakat
penyandang kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
Foster dan Anderson (1986) menemukan
konsep penyakit (disease) pada masyarakat
tradisional yang mereka
telusuri di kepustakaan-kepustakaan mengenai etnomedisin,
bahwa konsep penyakit
masyarakat non barat, dibagi atas dua kategori umum yaitu:
(1) Personalistik,
munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi dari suatu
agen yang aktif, yang
dapat berupa mahluk supranatural (mahluk gaib atau dewa),
mahluk yang bukan
manusia (hantu, roh leluhur, atau roh jahat) maupun mahluk
manusia (tukang sihir,
tukang tenung).
(2) Naturalistik,
penyakit (illness) dijelaskan dengan istilah-istilah yang sistematik dan
bukan pribadi.
Naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, sehat terjadi
karena unsur-unsur yang
tetap dalam tubuh seperti panas, dingin, cairan tubuh berada
dalam keadaan seimbang
menurut usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah
dan lingkungan
sosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya adalah
Друзья, хочу поделиться с вами интересной идеей зароботка в сети интернет. С первоочередной информацией можно ознакомиться на сайте Sabumoney.com Владеете информацией ... правите сами знаете чем. :)
Уважаемые соискатели зароботка в интренете. Вашему вниманию хочу предложить блестящую идею. Информацию можно узнать на сайте Sabumoney.com Для общего развития рекмендую ознакомиться ...